Jika Dibiarkan Terus, Kartu Prakerja Bisa Rugikan Keuangan Negara, Begini Kata ICW
Abadikini.com, JAKARTA – Program Kartu Prakerja yang selama ini diharapkan untuk memfasilitasi para pencari kerja menuai masalah. Terkait akan itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan berdasarkan kajian mendalam dan temuan beberapa fakta diduga adanya sebuah pelanggaran maladministrasi.
Berdasarkan temuan dan fakta tersebut ICW menilai ada sebuah pelanggaran yang dapat merugikan keuangan negara jika ini terus dibiarkan.
“Program ini berpotensi merugikan keuangan negara, membiarkan praktik monopoli terjadi, hingga adanya nuansa konflik kepentingan. Sederhananya, jika program ini tetap dipaksakan berjalan maka dapat melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana seperti dikutip Abadikini.com dari Sindonews, Kamis (2/7/2020).
Penempatan program Kartu Prakerja, menurut Kurnia, tidak sesuai dengan tugas, pokok, fungsi yang selama ini diemban oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Sedari awal ICW sudah mempertanyakan dasar argumentasi pemerintah untuk menempatkan Kemenko Perekonomian sebagai pengampu program Kartu Prakerja.
ICW menilai tidak tepat program Kartu Prakerja dibawah kendali Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Menurut Kurnia hal tersebut sangat keliru, lebih tepatnya Kementerian Ketenagakerjaan yang kelola.
“Berdasarkan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan, program ini lebih tepat jika diberikan kepada Kementerian Ketenagakerjaan. Apalagi jika merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, salah satu arah kebijakan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing yakni melalui pendidikan dan pelatihan vokasi berbasis kerja sama industri,” kata Kurnia.
Kebijakan itu dilakukan dengan cara meningkatkan akses ke pelatihan vokasi melalui penerapan Kartu Prakerja. Ia meyakini hal itu berada dalam wilayah Kemenaker.
“Dengan menempatkan Kemenko Perekonomian sebagai pelaksana teknis program Kartu Prakerja, timbul konflik peran secara internal, karena fungsi pengawasan dan fungsi pelaksanaan teknis menyatu pada satu kementerian. Sehingga, ini dipandang sebagai maladministrasi karena melampaui wewenang sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008,” terangnya.
Selain itu, ICW menilai mekanisme kurasi lembaga pelatihan tidak layak dan mengandung konflik kepentingan. Berdasarkan Pasal 27 Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020, sudah dijelaskan bahwa jangka waktu yang dibutuhkan oleh Platform Digital dan Manajemen Pelaksana untuk melakukan proses kurasi yakni paling lama 21 hari sampai akhirnya bisa ditetapkan sebagai lembaga pelatihan. Namun faktanya, rentang waktu antara proses pendaftaran gelombang I sampai penutupan hanya lima hari saja.
“Tentu waktu ini dipandang tidak cukup untuk menghasilkan lembaga pelatihan yang benar-benar teruji dan profesional. Bahkan, dapat berpotensi merusak kualitas pelatihan yang sebelumnya dijanjikan akan diberikan,” pungkasnya.