Etika Bermedia Sosial dalam Sinaran Al-Quran dan Sunnah
SEIRING perkembangan zaman, penggunaan media sosial (medsos) semakin berkembang pesat dari tahun ke tahun, khususnya di Indonesia. Bahkan, media sosial saat ini dapat dikatakan menjadi suatu kebutuhan wajib bagi setiap masyarakat karena dengan tanpa adanya media sosial, mereka tidak bisa mengetahui berita-berita atau perkembangan terbaru.
Media Sosial (Medsos) dapat diartikan sederhananya adalah sarana atau wahana orang berkomunikasi sosial. Seharusnya termasuk di dalamnya televisi, radio, dan koran atau majalah. Tetapi dimaknai menjadi khusus kepada media interaksi dan komunikasi yang berbasis jaringan internet dan mudah saling merespon, berbagi berita, dan menciptakan isu. Seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, Zoom, dan sebagainya.
Telah banyak sekali manfaat Medsos bagi kemudahan komunikasi manusia modern. Dari mulai ngobrol, kirim info, hingga berbagi ilmu pengetahuan dan sarana dakwah.
Tetapi tidak sedikit juga keburukan dan kejahatan yang meningkat pesat melalui medsos. Dari mulai menggunjing orang, membully, hingga penipuan dan bisnis pelacuran. Jadi Medsos ini adalah media yang bermata dua: mata kebaikan dan mata kejahatan.
Bagaimana dampak dari Medsos ini bagi kehidupan? Pikirkan saja sendiri. Jika di Indonesia saja ada pengguna medsos itu tahun 2021 ini sekitar 202, 6 juta orang. Betapa dahsyat pengaruhnya.
Jika dalam tataran dunia, pengguna medsos tahun 2021 ini sudah mencapai 4.22 miliar. dimana pada setiap harinya bertambah pengguna baru sedunia lebih dari 1.3 juta orang. Artinya manusia sebentar lagi akan terkoneksikan seluruh dunia dengan jaringan internet yang memangkas batas jarak dan waktu antar negara dan benua dalam hitungan detik. Suatu kondisi yang tidak pernah teralami oleh manusia di planet bumi dalam perjalanan sejarah masa lampau.
Yang menjadi konsen kita sebagai orang beriman adalah bagaimana kita memandang dan menyikapi pergaulan di Medsos ini. Apakah ada tuntunan dalam agama kita yang mulia, yaitu Al Quran dan Sunnah? Mengingat begitu besar mamfaat dan juga mudharat dari Medsos ini.
Saya jawab. Tentu saja tidak diragukan lagi Islam pasti memberi panduan yang jelas terhadap segala aspek kehidupan. Apalagi ini menyangkut hajat manusia sedunia. Dimana terbukti melalui Medsos jutaan orang dapat ilmu, dan juga ada jutaan orang saling memusuhi hingga saling memerangi. Mustahil jika Islam tidak memberi panduan yang jelas.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan dulu kerangka pemikiran Islami dalam memahami segala sesuatu.
Pertama: Dalam pandangan Islam, perbuatan manusia itu terbagi pada tiga macam. Yaitu amalan hati seperti iman dan kufur, niat dan keyakinan kita, atau cinta dan benci. Kemudian amalan lisan seperti perkataan baik atau buruk dan terakhir amalan badan seperti tindakan tangan dan kaki. Semua amalan itu terikat oleh hukum syariat yang lima. Bisa wajib, bisa sunnah, bisa haram, bisa makruh, bisa mubah.
Ketika kita berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak lain, pasti sekurang-kurangnya melibatkan hati dan lisan. Hanya saja ketika bermedsos, lisan kita itu diwakili oleh jari tangan kita, yaitu mengetik atau mengirimkan pesan dan tanggapan kepada pihak lain. Seakan membuktikan firman Allah dalam Surat Yasin, bahwa pada hari akhirat nanti lisan dan mulut dikunci, yang bicara itu adalah tangan.
Maka pastinya apa yang kita niatkan dan ketik lalu kirimkan ke orang lain, bisa perkara yang wajib, sunah, haram, makruh atau mubah. Itulah yang harus kita pikirkan sebelum kita mengirimnya ke Medsos.
Kedua: Media Sosial itu adalah ruang publik. Dimana banyak orang yang ikut bergabung di dalamnya. Sesuatu yang dilemparkan ke ruang publik maka setiap orang harus mempertanggungjawabkannya juga secara publik. Itu sebabnya dalam hal bermedsos ada hukum publik. Salah satunya di Indonesia ini adalah undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Orang yang membuat informasi atau menyebarkannya di ruang publik jika mengandung unsur kebohongan, fitnah, atau permusuhan dapat dijerat pelanggaran pidana.
Dalam ajaran Islam, ngobrol di ruang publik itu ada aturannya. Di antaranya dalam surat An-Nisa ayat 114. Firman Allah, “Tidaklah ada kebaikan pada kebanyakan percakapan-percakapan mereka itu. Kecuali jika ada di dalamnya orang yang menyuruh kepada sedekah, mengajak yang makruf, atau mendamaikan manusia yang berselisih. Siapa yang melakukan itu dengan niat mencari ridha Allah, niscaya Kami akan berikan kepadanya ganjaran yang besar”.
Jadi menurut Al Quran, mayoritas obrolan manusia itu sia-sia bahkan berdosa, kecuali yang di dalamnya mengandung ajakan bersedekah termasuk bersedekah informasi yang benar, ilmu yang benar, kata-kata yang benar, mengajak kepada perbuatan makruf, dan memberi solusi perdamaian atas suatu perselisihan.
Nah, jika dalam kita bermedsos yang disebarkan adalah berita yang salah, mengandung unsur provokasi, apalagi hoax dan fitnah. Semua itu menyelisihi kaidah-kaidah bermedsos menurut Al Quran. Maka jika kita melihat nya atau membaca dan mengetahui ketidak benaran bermedsos kita harus segera menegurnya di ruang medsos itu. Agar semua yang ada di forum itu juga mengetahui letak kekeliruanya sehingga para peserta di ruang publik itu tidak terbawa salah informasi.
Jika Quran dengan tegas mengatakan bahwa kebanyakan percakapan dan obrolan manusia itu sia-sia jika tidak mengandung ajakan sedekah, makruf , dan mendamaikan perselisihan. Maka dapat dipahami bahwa yang seharusnya kita kembangkan dalam bermedsos adalah materi-materi kebenaran yang bermuatan sedekah ilmu dan informasi. Lebih hebat lagi jika muatannya itu gagasan yang mendorong berkembang biaknya kebaikan. Demikian juga pentingnya menyebarluaskan perdamaian di saat banyak orang senang menebar berita provokasi dan permusuhan.
Bahkan Rasulullah sampai memberi rukhshah bahwa “berbohong” untuk menciptakan perdamaian tidak dikatan berdusta. “Bukanlah pendusta orang (yang berdusta) untuk mendamaikan di antara manusia.” Beliau juga mengingatkan bahwa sekiranya seorang tidak bisa berkata yang bermanfaat dan baik, maka diam itulah kebaikan. Imam Ghazali mengingatkan, “Sekiranya orang-orang yang tidak mengerti persoalan itu diam, niscaya perselisihan itu berkurang”.
Jadi makin banyak orang yang ikut menanggapi dan mengomentari permasalahan yang dia sendiri tidak benar-benar memahami, akan menambah persoalan itu makin menjadi rumit. Kenapa demikian, sebab inti masalah tersebut telah kabur diselimuti narasi-narasi dan interpretasi yang berdasar emosi.
Lalu bagaimanakah seharusnya kita menerima, memahami, menilai, hingga menyebarluaskan suatu berita di media sosial menurut Quran dan Sunnah.
Panduan Quran dan Sunnah dalam menerima dan menguji suatu informasi dapat disederhanakan kepada beberapa kaidah dasar.
Pertama: Kaidah ilmiah. Artinya bahwa kita harus melihat suatu informasi dari aspek keilmuannya. Jangan kita menerima informasi dan opini dari orang yang bukan ahlinya. Kalau tentang ilmu syariat, sumbernya harus ulama dan cendekiawan yang pakar agama. Kalau bidang politik ya ahli politik. Jika kesehatan ya ahli medis dan kedokteran, dan seterusnya. Janganlah menyerahkan ilmu pada yang bukan pakarnya, karena ilmu itu amanah. Akan binasa jika yang bukan ahlinya mengambil alih amanah itu.
Dengan kaidah ilmiah ini juga kita tidak boleh menerima begitu saja suatu informasi yang bukan kapasitas ilmu kita. Tetapi hendaklah bertanya dulu kepada yang ahli di bidang masalah tersebut supaya kita tidak tersesat dan tidak menyesatkan orang lain. Sebagaimana pesan Quran, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu..”
Kedua: Kaidah keadilan, atau al ‘adalah. Artinya kita harus memahami dan menyikapi setiap informasi secara adil dan seimbang. Jika informasi itu ada dari dua pihak yang berbeda, maka kedua informasi itu harus kita sandingkan lalu komparasikan. Jika bersifat tuduhan atau penafsiran, maka harus didengar juga orang yang tertuduh dan tafsiran yang lain. Jangan hanya informasi itu datang dari pihak yang kita sukai, atau kelompok kita, atau sesuai dengan hawa nafsu kita, kita langsung terima dan kita anggap benar. Sedang kalau datang dari pihak lain kita langsung tolak dan kita fonis bohong.
Dalam konteks ini sangat keras peringatan Al Quran, “Wahai orang beriman, jadilah kamu penegak kesaksian yang adil. Jangan karena kebencian mu kepada suatu kaum mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adil lah kamu, karena adil itu lebih dekat pada takwa”. (Al Maidah : 8).
Betapa dahsyatnya Quran. Menegur umatnya sendiri agar berlaku adil dan objektif dalam segala hal, termasuk kepada musuh yang kita benci sekalipun. Memang sering kali kalau sudah terbawa kebencian, maka apapun yang dilakukan orang yang kita benci itu pasti dinilai salah dan bohong.
Sebaliknya kalau dari pihak yang kita dukung atau kita cintai, pasti semua informasikan disambut dengan penuh sebagai kebenaran. Pada posisi itulah kita sering lupa bahwa manusia itu punya nurani kebenaran, punya pikiran positif, dan punya hak mengoreksi dirinya sendiri.
Yang salah terus hanyalah syetan, yang benar terus hanya malaikat. Keburukan dan kekeliruan dari siapapun meskipun dari orang yang kita banggakan harus kita tolak. Kebenaran dari siapapun datangnya, meskipun dari orang yang kita benci harus kita terima. Itulah sikap adil yang diajarkan Islam.
Ketiga: Kaidah tabayyun, klarifikasi. Maksudnya bahwa jika suatu informasi penting datang kepada kita harus dipastikan dulu kebenarannya itu sebelum kita terima dan kita sebarkan atau kita putuskan sikap kita. Kepastian itu melalui penelusuran sumbernya, apakah benar dan terpercaya; konten atau isinya benar tidak diselewengkan; dan interpretasinya atau framing opininya benar atau diselewengkan. Setelah itu semua pasti, boleh kita mengambil sikap dan keputusan yang harus dilakukan. Jika tidak, maka betapa banyak kerugian dan penyesalan yang akan terjadi akibat kecerobohan kita.
Dalil dari kaidah ketiga ini sangat tegas di dalam Quran, “Wahai orang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasik membawa berita maka periksalah terlebih dahulu. Jangan sampai kalian menimpakan keputusan kepada suatu kaum karena kejahilan kalian, lalu kalian menyesali tindakan kalian sendiri”. (Al Hujurat: 6).
Sangat tegas bimbingan ayat di atas kepada kita. Bahwa kecerobohan dalam mengambil kesimpulan atas suatu informasi akan berbuah penyesalan di kemudian hari.
Kaidah keempat, yaitu kaidah al manfa’ah. Artinya menerima dan menyebarkan suatu informasi itu menggunakan ukuran kemanfaatan. Tidak setiap berita meskipun benar itu bermanfaat disebarkan. Disinilah perlunya memilah dan memilih mana informasi yang berguna untuk disebarkan lagi mana yang tidak berguna maka cukup disimpan saja. Rasulullah mengingatkan dalam hadits riwayat Imam Muslim bahwa cukup seseorang itu jadi berdosa karena selalu menyampaikan apa yang ia dengar”.
Jadi dengarlah dan ketahuilah terlebih dahulu baik-baik sebelum disampaikan, tetapi jangan setiap yang didengar dan diketahui disampaikan lagi. Orang yang menyampaikan apa yang tidak diketahuinya terjerumus pada dusta dan jahil, orang yang menyampaikan segala yang diketahuinya tanpa memilah tempat dan memilih situasi adalah adalah yang tidak bijak. Ali Bin Abu Thalib menasihati, “Bicaralah kepada manusia sesuai tingkat intelektualnya”. Setiap tempat dan situasi ada perkataan dan informasi yang tepat. __Likulli maqam maqaal wa likulli maqaal maqam._begitu pepatah Arab mengatakan.
Oleh sebab itu banyak pengetahuan dan informasi penting yang dimiliki orang-orang alim tetapi mereka tidak menyampaikannya di medsos karena bukan tempatnya dan belum tentu semua orang akan sampai kemampuan memahaminya dengan benar. Sebab itulah ilmu yang sebenarnya harus dijemput dari ahlinya pada tempat yang selayaknya. “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui”. Kenapa harus ditanyakan bukankah kewajiban orang berilmu untuk menyampaikan? Sebab tidak semua ilmu yang diketahui orang alim layak diberitahukan kepada semua orang.
Wallahu A’lam.
Bekasi. 4 April 2021
Oleh: KH Dr Jeje Zaenudin
Wakil Ketua Umum PP Persatuan Islam (Persis)