Mempertahankan Aceh Dalam Pangkuan NKRI
Membangun secara berkeadilan yang sesuai qanun (syariah Islam), itulah jawaban konkret dari kehendak yang diidamkan masyarakat Nangroe Aceh Darussalam. Status otonomi khusus daerah Aceh yang tertopang dengan UU 18 Tahun 2001 ini tak berarti secara fungsional jika tak dibarengi perhatian khusus Pusat. Bentuknya jelas: alokasi anggaran negara (APBN) secara rutin dalam terminologi khusus untuk daerah istimewa seperti Papua dan Papua Barat. Hal ini merupakan bagian dari refleksi keadilan terhadap Aceh yang tertinggal sekian lama akibat konfliktualitas berkepanjangan masa lalu.
Kini, status keistimewaan daerah Aceh yang bekonsekuensi secara finansial itu dipersoalkan, apakah tetap dilanjutkan, atau dihentikan. Persoalan ini sejalan dengan alokasi anggaran khusus untuk daerah istimewa Aceh ralatif belum mencerminkan derap pembangunan sebagaimana idealnya. Data keuangan negara menunjukkan, Aceh telah menerima dana Otsus Aceh dari 2008-2018 mencapai Rp 64,97 triliun. Terjadi peningkatan alokasi sebesar 8,58% per tahun.
Dana sebesar ini harusnya mampu membangkitkan roda pembangunan. Ketika terjadi derap pembangunan, maka level kesejahteraan masyarakat Aceh tidak lagi dalam kategori tertinggal. Namun, fakta menunjukkan, potret kemiskinan Aceh, per Maret 2021, menurut BPS, mencapai 15,43% dari total penduduk yang berjumlah 5,27 juta jiwa. Dengan prosentase tersesbut, Aceh terkategori termiskin di Pulau Sumatera. Peringkat kedua kemiskinan “diraih” Sumatera Selatan dengan skor 14,99%.
Potret ketertinggalan sosial-ekonomi masyarakat dan daerah Aceh itu menimbulkan pertanyaan: mengapa kemiskinan masyarakat Aceh masih harus terjadi? Mengapa daerah Aceh relatif tertinggal di banding daerah-daerah lainnya? Adakah penyimpangan dan atau penyalahgunaan anggaran negara? Atau terjadi mismanagement dalam tata-kelola pembangunan?