Neokomunis Indonesia: Fatamargona?
BUKAN LATAH, atau hanya mengulang rutinitas tahunan. Itulah banyaknya ulasan tertang komunisme Indonesia setiap jelang akhir September. Memang, ada urgensi kuat untuk mengetengahkan isu komunisme di Tanah Air ini. Bukan sekedar mengenang tragedi kemanusiaan pada 30 September 1965 itu, tapi kita selaku anak bangsa Indonesia, harus waspada tentang kemungkinan terjadi kembali The Black September itu, apalagi fakta di lapangan, setidaknya dalam enam tahun terakhir terlihat gelagat kembalinya komunis Indonesia begitu gambling.
Sebuah renungan, apakah komunis Indonesia akan bangkit kembali atau hanya hantu? Itulah neokomunis Indonesia, yang menjadi sorotan publik. Hingga kini terus menjadi polemik dan bayang-bayang hitam bagi anak bangsa yang traumatic atas tragedi kemanusiaan itu. Penilaiannya tergantung dari sudut pandang mana. Juga, tergantung kepentingan praksis-pragmatis, bahkan ideologis. Itulah pula yang membuat gelombang diskursus dan aksi seputar komunis Indonesia terus mewarnai entitas bangsa dan negeri ini.
Secara teoritik dan empirik, komunis dunia sebagai ideologi memang sudah bangkrut. Di sejumlah negara asalnya, terutama Rusia, komunisme sudah tiada. Setidaknya, sudah tak laku dijual di tengah masyarakat Rusia, bahkan sejumlah negara satelitnya, termasuk di Eropa Timur. Namun demikian, sebagai partai politik, keberadaan komunisme di tengah Rusia masih ada, meski sudah tak diminati lagi oleh masyarakatnya.
Relatif sama, keberadaan komunisme di Rusia juga terjadi di China. Sebagai ideologi, negara dan rakyat China sudah menjauhkan diri dari komunisme. Mereka, karena silau cahaya kemakmuran, mengedepankan ideologi kapitalis-liberalis-globalis. Meski demikian, sistem pemerintahan China masih menjadikan komunisme sebagai prasyarat utama pemimpin negeri Tirai Bambu. Yang pegang kekuasaan harus berbiodata Polit Biro Komunis. Dengan demikian, ruh komunisme di tengah China sesungguhnya masih ada dan terpegang teguh sebagai sikap ideologis negara.