Kuasa Hukum Demokrat Moeldoko: Zainal Mochtar dan Margarito Kamis Jadi Ahli di PTUN Seperti Politisi
Abadikini.com, JAKARTA – Kuasa Hukum DPP Demokrat KLB Deli Serdang, Rusdiansyah menilai kedua ahli yang dihadirkan kubu AHY pada sidang di PTUN, Kamis (21/10/21) tidak memahami objek gugatan dan lebih menyerang ke Pemerintah argumentasinya.
Seperti diketahui, sidang dengan nomor Perkara Nomor 150/G/2021/PTUN.JKT di PTUN Jakarta atas penolakan Menkumham terhadap Permohonan Pengesahan Perubahan AD/ART serta Kepengurusan Partai Demokrat Hasil Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, kembali digelar dengan mendengarkan keterangan saksi dari kubu AHY yakni Zainal Arifin Mochtar dan Margarito Kamis.
“Saksi yang dihadirkan kubu AHY disidang Gugatan PTUN Nomor 150 sepertinya tidak memahami objek gugatan klien kami atas Kemenkumham dan tidak membaca atau tidak mengerti isi AD ART Partai Demokrat Tahun 2020,” ujar Rusdiansyah, melalui siaran pers, Jumat (22/10/21).
Menurutnya, keterangan disampaikan oleh saksi tidak terkait dengan substansi gugatan. Mereka tampil seperti politisi, bukan layaknya sebagai akademi.
“Zainal Arifin Mochtar mengatakan bahwa dilihat dari sejarah Indonesia, partai yang selalu dirusak itu adalah partai yang oposisi dari pemerintah yang sedang berkuasa,” kata Rusdiansyah mengutip kesaksian ahli.
Pernyataan Zainal ini, lanjutnya tidak ada hubungannya dengan substansi gugatan dan tak ada bukti akademisnya. Zainal secara sadar ingin menuduh bahwa pemerintah telah melakukan upaya merusak partai-partai oposisi.
“Itu adalah tuduhan yang mengada-ada dan padangan yang keliru,” kata Rusdiansyah yang juga menyampaikan.
Lanjut Rusdiansyah, “Faktanya, Pemerintah dalam hal ini Kemenkumham tidak serta merta menyetujui permohonan kubu KLB Deli Serdang, sehingga kami lakukan upaya hukum ke PTUN.”
“Zainal juga berpandangan bahwa harusnya mekanisme demokrasi tidak dipaksakan untuk diselesaikan di pengadilan. Terkait pandangan ini, sepertinya Zainal tidak memahami isi 10 Pilar Demokrasi Konstitusional Indonesia menurut Pancasila dan UUD 1945,” tambah Rusdiansyah.
Lebih jauh, Rusdiansyah juga memaparkan Isi 10 pilar demokrasi, yakni Demokrasi yang Berketuhanan Yang Maha Esa, Demokrasi dengan kecerdasan, Demokrasi yang berkedaulatan rakyat, Demokrasi dengan rule of law, Demokrasi dengan pemisahan kekuasaan negara, Demokrasi dengan hak asasi manusia, Demokrasi dengan pengadilan yang merdeka, Demokrasi dengan otonomi daerah, Demokrasi dengan kemakmuran, serta Demokrasi yang berkeadilan sosial.
Untuk itu kata Rusdiansyah, upaya hukum ke pengadilan yang dilakukan oleh kliennya merupakan tindakan yang sejalan dengan pilar demokrasi konstitusional Indonesia.
“Andai saja Zainal Arifin Muchtar dan Margarito Khamis membaca isi AD/ART Partai Demokrat tahun 2020, maka sebagai akademisi, mereka akan malu menjadi saksi ahli kubu AHY,” ujarnya.
Kedua akademisi ini dalam kesehariannya mengaku pejuang demokrasi, namun faktanya sekarang menurut Rusdiansyah mereka membela oligarki kekuasaan yang tirani dan nepotisme yang tertuang didalam AD/ART Partai Demokrat tahun 2020.
“Karena itu, demokrasi seperti apa sesungguhnya yang sedang diperjuangkan Zainal dan Margarito?,” tanyanya.
Terkait, Zainal juga menyebut bahwa sengketa ini cukup diselesaikan di internal partai, tidak di pengadilan, menurut Rusdiansyah sekali lagi, Zainal tidak memahami objek gugatan. Dimana objek gugatan kubu KLB Deli Serdang adalah Surat Keputusan Kemenkumham, bukan surat keputusan Partai. Menurut UU PTUN, ranah gugatan untuk keputusan kemenkumham adalah di PTUN, bukan di internal partai.
“Cara berpikir saksi ahli Zainal Arifin Mochtar dan Margarito Kamis ini seperti Mbalelo tidak seperti akademisi, tapi layaknya politisi. Zainal sedang menggiring opini yang keliru dan mengajarkan warga negara untuk tidak taat serta tidak menghormati hukum. Pemikiran semacam ini sangat berbahaya dalam negara demokrasi,” pungkas Rusdiansyah.