Ladang Subur Korupsi Itu Bernama Pengadaan Barang dan Jasa
Abadikini.com, JAKARTA – Pada tahun 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat penindakan terhadap 30 kasus tindak pidana korupsi perkara pengadaan barang dan jasa.
Berdasarkan catatan tersebut, perkara pengadaan barang dan jasa menduduki posisi kedua sebagai jenis perkara yang paling banyak ditindak KPK pada tahun 2021.
Meskipun berada di posisi kedua setelah perkara penyuapan yang tercatat 35 kasus, ternyata kasus penyuapan memuat unsur pengadaan barang dan jasa, sebagaimana yang dikemukakan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Periode 2019-September 2021 Roni Dwi Susanto.
Ia memberikan contoh apabila ada sebuah perusahaan yang ingin memenangkan suatu proyek, keinginan itu menjadi celah tindakan penyuapan, yakni pemerintah sebagai penerima suap dan perusahaan selaku pemberi suap.
Dia menyampaikan bahwa pengadaan barang dan jasa bernilai besar dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Sekitar 53 persen APBN ataupun APBD Indonesia diperuntukkan bagi pengadaan barang dan jasa.
Pada tahun 2021, kata Roni Dwi Susanto, APBN yang diperuntukkan bagi pengadaan barang dan jasa mencapai Rp1.200 triliun.
Dengan nilai sebesar itu, sektor pengadaan barang dan jasa dinilai menjadi lekat dengan tindak pidana korupsi.
Pandangan yang tidak jauh berbeda datang dari Ketua KPK Firli Bahuri. Menurutnya, saat jumpa pers operasi tangkap tangan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan 13 orang lainnya terkait kasus dugaan korupsi pengadaan barang, jasa, dan lelang jabatan, Kamis (6/1), tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa menjadi modus klasik yang melibatkan banyak pihak.
Bahkan, tindakan korupsi itu dapat terjadi mulai dari rangkaian perencanaan, pelaksanaan, hingga ke tahap pengawasan.
Akibat tindakan tersebut, Firli Bahuri memandang masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan karena dampak dari korupsi pengadaan barang dan jasa adalah menurunnya kualitas barang dan jasa itu sendiri.
Direktur Penyidikan KPK Periode September 2020-Desember 2021 Setyo Budiyanto mengatakan korupsi pengadaan barang dan jasa terdeteksi terjadi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga ke tahap pengawasan.
Pola penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa
Setyo Budiyanto yang saat ini menjadi Kapolda NTT menjelaskan pada tahapan perencanaan atau persiapan pengadaan barang dan jasa terdapat beberapa pola penyimpangan.
Pertama, penggelembungan (mark up) biaya rencana pengadaan. Kedua, pengadaan diarahkan untuk kepentingan produk atau penyedia barang dan jasa tertentu. Ketiga, perencanaan yang tidak realistis, terutama terkait waktu pelaksanaan.
Keempat, panitia bekerja secara tertutup, tidak jujur, dan bahkan dapat dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu. Kelima, harga perkiraan sendiri (HPS) dalam rencana pengadaan barang dan jasa ditutup-tutupi. Keenam, harga dasar tidak disesuaikan dengan standar yang ada.
Ketujuh, spesifikasi teknis mengarah pada produk tertentu. Kemudian yang kedelapan, dokumen lelang tidak disesuaikan dengan standar yang ada dan kesembilan, dokumen lelang tidak lengkap.
Kemudian pada tahap proses pengadaan, menurut Setyo Budiyanto, pola penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi dapat dilihat dari 11 hal.
Pertama, jangka waktu pengumuman proses pengadaan barang dan jasa menjadi singkat. Kedua, pengumuman tidak lengkap dan membingungkan. Ketiga, penyebaran dokumen tender tampak cacat. Keempat, dilakukan pembatasan informasi oleh panitia agar kelompok tertentu saja yang memperoleh informasi lengkap.
Kelima, penjelasan tentang proyek (aanwijizing) diubah menjadi tanya jawab. Keenam, adanya upaya menghalangi pemasukan dokumen penawaran oleh oknum tertentu agar peserta tertentu terlambat menyampaikan dokumen penawarannya. Selanjutnya yang ketujuh, penggantian dokumen dilakukan dengan cara menyisipkan revisi di dalam dokumen awal.
Di samping itu, tindakan yang kedelapan adalah panitia bekerja secara tertutup. Kesembilan, pengumuman pemenang tender hanya dilakukan kepada kelompok tertentu. Kesepuluh, tidak semua sanggahan ditanggapi. Lalu yang terakhir, surat penetapan sengaja ditunda pengeluarannya.
Setyo Budiyanto menjelaskan beberapa pola penyimpangan yang terjadi di tahapan penyusunan dan penandatanganan kontrak pengadaan barang dan jasa.
Pertama, penandatanganan kontrak tidak dilengkapi dokumen pendukung dan yang kedua adalah penundaan penanganan kontrak tersebut.
Ada pula penyimpangan di tahapan pelaksanaan kontrak, penyerahan barang, dan jasa, yaitu pekerjaan atau barang tidak sesuai spesifikasi dan pekerjaan yang belum selesai, tetapi telah dilakukan serah terima.
Berlanjut menuju tahapan pengawasan, kolusi antara pelaksana proyek dan pengawasnya merupakan salah satu bentuk penyimpangan. Selain itu, yang sangat jelas adalah tindakan penyuapan kepada pengawas proyek. Ada pula penyimpangan berupa laporan pengawas proyek yang tidak sesuai dengan hasil pekerjaannya.
Di tahapan terakhir, yaitu pelaporan keuangan dan audit, KPK kerap menemukan pelaporan yang tidak jujur dan meloloskan bukti-bukti akuntansi yang tidak benar.
Lalu sebenarnya, bagaimana pemerintah, terutama KPK berupaya untuk menangani pengadaan barang dan jasa yang semestinya menjadi produk pembangunan terbaik bagi masyarakat, namun justru dialihkan sebagai ladang subur korupsi?
Upaya pemberantasan korupsi pengadaan barang dan jasa
KPK menekankan upaya pencegahan sebagai langkah awal yang berperan besar dalam memberantas korupsi pengadaan barang dan jasa.
Salah satu upaya itu adalah rumusan tentang dibutuhkannya pelaksanaan peninjauan harga perkiraan sendiri (HPS) yang dilaksanakan oleh Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) dibantu Aparat pengawasan Intern Pemerintah (APIP) ataupun dapat bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kemudian, dilaksanakannya probidity audit dalam tahap perencanaan, persiapan lelang, pelaksanaan lelang, bahkan pascalelang sampai serah terima barang/pekerjaan.
Probidity audit merupakan penilaian secara independen untuk memastikan proses pengadaan barang dan jasa dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan prinsip integritas, kebenaran, dan kejujuran, sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan meningkatkan akuntabilitas keuangan negara.
Selanjutnya, ada pula upaya dalam bentuk peninjauan perencanaan pengadaan barang dan jasa. Dengan demikian, perencanaan kegiatan dapat sesuai kebutuhan dan terencana secara baik.
Setelahnya, perlu dilakukan evaluasi, pemberian bantuan hukum apabila terdapat sanggahan, audit khusus jika ada pengaduan masyarakat, audit IT apabila ada kendala di sistem informasi dan teknologi, serta audit kepatuhan pengadaan barang dan jasa untuk memperbaiki tata kelola kegiatan.
Digitalisasi dilakukan oleh LKPP sebagai upaya pencegahan korupsi pengadaan barang dan jasa melalui e-marketplace, yaitu pasar elektronik untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa pemerintah.
Melalui e-marketplace tersebut diharapkan kesalahan ataupun praktik penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa dapat diminimalisasi.
Dari berbagai upaya pencegahan tersebut, yang tidak kalah penting, tentu saja komitmen pemerintah dan seluruh pihak terkait agar di dalam proses pengadaan barang dan jasa mengedepankan kejujuran demi hasil produk yang bernilai guna maksimal bagi seluruh warga negara Indonesia.
Sumber: ANTARA