Konsentrasi Logam Tanah Jarang di Lumpur Lapindo Disebut Tidak Terlalu Besar
Abadikini.com, JAKARTA – Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eko Budi Lelono menyebut konsentrasi logam tanah jarang (LTJ) di Lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur tidak terlalu besar.
Sebelumnya, keberadaan logam tanah jarang di Lumpur Lapindo disebut sebagai ‘harta karun’. Hal itu merujuk pada kandungan ekonomis dari logam yang disebut sebagai rare earth element (RRE) itu.
Eko menerangkan keberadaan logam tanah jarang di Indonesia yang sudah teridentifikasi di beberapa lokasi. Selain di Jawa Timur, ada juga di Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat dan Sumatera Utara.
“Memang logam tanah jarang yang ada di Indonesia itu kami identifikasi keberadaannya tersebar di beberapa lokasi. Kalau di Lapindo ada, tapi konsentrasinya tidak terlalu besar. Di tempat lain kami identifikasi, di Sumatera Utara, dan Bangka Belitung itu cukup besar,” kata Eko kepada CNNIndonesia.com, tanpa merinci angka konsentrasinya, Rabu (13/4).
Meski begitu, Eko menambahkan ESDM masih perlu melakukan kajian lebih detail lagi terkait keberadaan logam tanah jarang di lokasi lain di Indonesia. Termasuk, seberapa besar potensinya.
“Kami di Geologi melakukan identifikasi tempat-tempat di mana ada ketersediaan sumber daya mineral logam tanah jarang ini. Sebab, logam ini berasosiasi dengan logam-logam tertentu.”
Misalnya di Bangka logam tanah jarang ini berasosiasi dengan keberadaan timah. Mungkin di lokasi lain logam ini berasosiasi dengan batuan lain. Ada 15 jalur mineralisasi, beberapa diantaranya mengandung pembentukan logam tanah jarang. Itu yang kita coba, dari pengetahuan itu kita eksplorasi dan pemetaan di lokasi tertentu,” ujar Eko.
Terkait pemanfaatannya, logam tanah jarang disebut sebagai mineral penting di masa depan. Misalnya, bisa jadi pemicu lahirnya teknologi baru yang masih akan terus berkembang, seperti LCD televisi maupun ponsel, baterai hybrid sampai bahan pembuat superkonduktor, laser, optik elektronik, gelas dan keramik.
Mineral ini juga dibutuhkan dalam pembuatan berbagai peralatan vital militer. Mulai dari sonar kapal perang, alat pembidik meriam tank, perangkat pemandu rudal nuklir hingga perangkat pelacak sasaran pada peluru kendali.
“Penggunaannya sangat diperlukan untuk industri teknologi tinggi. China sudah melakukan pengolahan. Di Indonesia belum seintensif di China. Detailnya bisa di Minerba atau perindustrian, di Dirjen Ilmate Kemenperin, seperti apa industri di Indonesia memanfaatkan logam tanah jarang ini.”
“Ada kaitan hulu sama hilir. Saat permintaan dari industri tinggi, kita bisa menyuplai data terkait berapa potensinya. Kita juga tahu seberapa kemampuan kita bisa menyuplai mineral logam ini untuk industri,” ujar Eko.
Dikutip dari situs Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), logam tanah jarang adalah suatu kelompok yang terdiri dari 17 unsur dalam tabel periodik yang terdiri dari 15 unsur grup lantanida ditambah Scandium dan Yttrium.
Riset BPPT dalam bidang teknologi nanomaterial logam tanah jarang pun diharapkan bisa menghasilkan material yang bernilai tambah tinggi yang bisa memacu pertumbuhan industri hilir secara bertahap.
Misalnya, aplikasi untuk Solid Oxide Fuel Cell (SOFC), sensor, phosphor display, baterei, magnet, hydrogen storage, semikonduktor, superkonduktor, dan lain sebagainya.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup untuk Indonesia (Walhi) mengkritik pembingkaian alias framming keberadaan logam tanah jarang di lumpur Lapindo sebagai harta karun. Pasalnya, kerugian yang diderita warga dan lingkungan Sidoarjo teramat parah dan tak bisa dibandingkan dengan kehadiran elemen itu.
