Fahri Bachmid Harap Prabowo Terapkan Konsep Meritokrasi Memilih Cawapres Bukan Sekedar Ban Serep
Abadikini.com, JAKARTA – Prabowo Subianto belum juga mengumumkan nama bakal calon wakil presiden pendampingnya untuk Pilpres 2024. Padahal, pendaftaran pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ke KPU tinggal sebentar lagi.
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Dr. Fahri Bachmid memberikan pandangan serta perspektifnya terkait fenomena politik kontemporer dalam menentukan figur cawapres sebagai suatu paket jabatan publik yang determinan dalam konstelasi politik nasional.
Menurutnya, eksistensi presiden dan wakil presiden sebagai lembaga negara dalam sistem pemerintahan presidensial di indonesia mempunyai kedudukan, peran yang sangat vital dan strategis,desain sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasar UUD 1945 mengatur tentang kedudukan dan tugas presiden dan wakil presiden, pengaturan tersebut sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) dan (2), Pasal 6 Ayat (2), Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UUD 1945, ketentuan norma Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, selanjutnya ketentuan Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa : “Dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden”.
“Sesuai kebutuhan konstitusional pengisian jabatan cawapres, maka cawapres tidak lagi hanya diidentikkan sebagai figur yang berfungsi untuk sekadar meningkatkan elektabilitas selama kegiatan pemilu berlangsung, tetapi konsep yang ideal adalah Capres yang berani mengembalikan serta mendudukan pranata wakil presiden sesuai derajat konstitusionalnya pada saat semula ketika kelembagaan kepresidenan dibentuk berdasarkan UUD 1945, yang mana cara menentukan Cawapres yang sesuai dengan kebutuhan negara, dan tidak semata-mata ”ban serep ” karena tugas konstitusional negara ke depan akan semakin kompleks, lebih berat dan menantang,”
“Sehingga prinsip “meritokrasi” merupakan sebuah keniscayaan dalam memilih sosok Cawapres yang teknokratis, seorang intelektual, cendikiawan yang tentunya menguasai aspek ketatanegaraan serta kepemerintahan, secara konvensional seberanya praktik pengisian jabatan wapres dengan konsep “meritokrasi” pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan kita, sepertu Dwitunggal Soekarno-Hatta di mana Soekarno berperan sebagai “solidarity maker” di awal kemerdekaan dan Hatta berperan sebagai ”administrator” negara, prinsip meritokrasi dalam menentukan wakil presiden yaitu membuka kesempatan yang setara bagi bagi setiap figur potensial yang cakap dan teknokratis untuk menyelenggarakan pemerintahan republik secara benar untuk mencapai tujuan negara,” ujar Fahri.
Fahri menjelaskan, konstruksi pranata Kekuasaan pemerintahan negara oleh presiden diatur dan ditentukan dalam ketentuan Bab III UUD 1945 tersebut terkandung dalam 17 pasal yang diberi “titel” Pemerintahan Negara, yang di dalamnya mengatur berbagai soal dan lingkup mengenai presiden dan lembaga kepresidenan, termasuk struktur dan susunan kewenangan yang dimilikinya dalam memegang kekuasaan pemerintah negara.
“Secara konstitusional Pasal 6A Ayat (1) mengatur “Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Ketentuan mengenai satu pasangan ini menunjukan bahwa jabatan presiden dan wakil presiden itu adalah satu kesatuan pasangan presiden dan wakil presiden. Keduanya adalah dwi tunggal atau satu kesatuan lembaga kepresidenan. tetapi secara doktriner, meskipun merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan, keduanya adalah lingkungan jabatan konstitusional yang terpisah, sehingga dengan demikian meskipun di satu sisi keduanya merupakan satu kesatuan kelembagaan, akan tetapi disisi yang lain keduanya pada hakikatnya merupakan 2 (dua) organ negara yang berbeda satu sama lain, artinya dua organ konstitusional yang tak terpisahkan tetapi dapat dan harus dibedakan satu dengan lainnya,” jelas Fahri.
Secara teoritik, kata dia, tugas seorang wakil presiden memang sengaja tidak didesain sedemikian rupa dalam UUD NRI Tahun 1945, konstitusi menyebutkan tugas wakil presiden hanya membantu presiden, tugas membantu presiden yang dilakukan oleh seorang wakil presiden tentu saja berbeda dengan tugas yang dilaksanakan oleh para menteri yang menurut UUD 1945 adalah membantu presiden, secara konseptual tentunya bantuan wakil presiden kedudukan hukumnya lebih tinggi dan komprehensif dibanding dengan para menteri negara.
“Berdasarkan kaidah konstitusional wakil presiden bertindak mewakili presiden dalam hal presiden berhalangan untuk melaksanakan suatu kewajiban hukum dalam format kegiatan tertentu atau melakukan sesuatu dalam lingkungan kewajiban konstitusional presiden, dalam hal presiden tidak dapat memenuhi kewajiban konstitusional karena sesuatu alasan yang dapat dibenarkan menurut hukum, bertindak sebagai pendamping presiden dalam melakukan kewajibannya ataupun dapat bertindak sebagai seorang pejabat publik,” katanya.
Fahri Bachmid menguraikan, pentingnya mengisi posisi wakil presiden dan sejauh mungkin harus menghindarkan dari prinsip sekedar ban serep “spare tire” oleh karena secara fundamental eksistensi hukum peran wakil presiden, dapat berada pada beberapa kemungkinan dan keadaan secara ketatanegaraan terhadap presiden, yaitu: a. sebagai wakil yang mewakili presiden selaku Kepala Pemerintahan; b. sebagai pengganti yang menggantikan presiden; c. sebagai pembantu yang membantu presiden; d. sebagai pendamping yang mendampingi presiden; e. sebagai wakil presiden yang bersifat mandiri.
Fahri Bachmid menekankan bahwa kedudukan wakil presiden mempunyai intensi konstitusional walaupun dalam makna memberi bantuan kepada presiden dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya, hal ini dapat dibaca pada dua keadaan hukum yang sangat mendasar, yaitu a. Membantu Presiden dalam melakukan kewajibannya; dan, b. Menggantikan Presiden sampai habis waktunya jika Presiden meninggal dunia, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan yang telah ditentukan.
“Dengan demikian menjadi serius untuk menentukan preferensi politik dalam memilih calon wakil presiden, tentunya dengan mendasarkan pada pertimbangan kepentingan nasional yang paling mendasar dibalik desain kelembagaan wakil presiden itu sendiri, artinya bukan sekedar bang serep, melainkan peran aktual untuk menata dan mengelola negara secara benar sesuai sumpah jabatan presiden dan/atau wakil presiden yaitu : memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil adilnya, memegang teguh UndangUndang Dasar dan menjalankan segala undangundang dan peraturannya dengan seluruslurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa,”.
Fahri Bachmid menjelaskan bahwa secara konstitusional, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 9 UUD NRI 1945 sehingga berdasarkan sumber pengaturannya, secara hukum kedudukan Wakil Presiden dengan Presiden adalah sejajar, kualifikasi untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden, cara pemilihan, masa jabatan, mekanisme serta alasan pemakzulan dan/atau sumpah jabatan dirumuskan dalam rezim pengaturan yang sama sebagai satu kesuatuan, sehingga penggunaan frasa “satu pasangan” mempunyai makna bahwa keduanya adalah satu kesatuan lembaga kepresidenan.
Fahri Bachmid menyarankan, kedepan Capres Prabowo mutlak menerapkan konsep “meritokrasi” dalam menentukan cawapresnya, serta mempertimbangkan figur cawapres sesuai kebutuhan teknis penyelengaraan negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra sesungguhnya memenuhi kriteria itu, beliau seorang teknokratis sejati, yang tentunya dapat memainkan peran-peran konstitusionalnya sebagai wakil presiden yang akan fokus pada mengurus dan menata negara, membangun sistem yang kuat, menata birokrasi serta bagaimana membenahi mekanisme dan sistem ketatanegaraan yang ada saat ini.
Yang mana, terang Fahri, kita tau bahwa produk amamdemen UUD 1945 masih menyisahkan sejumlah persoalan yang tentunya membutuhkan kajian, pendalaman serta upaya-upaya perbaikan kearah yang lebih baik kedepan melalui upaya-upaya konstitusional dengan cara amandemen ke-5 (lima) UUD 1945, nah persoalan ini merupakan pekerjaan yang serius dengan membutuhkan konsentrasi, kehati hatian yang tinggi, serta sebuah upaya konsolidasi sistemik yang melibatkan lembaga-lembaga negara terkait untk mengerjakannya.
“Sehingga urusan yang demikian ini tentunya membutuhkan peran seorang Wapres yang mumpuni, yang menguasai teknis hukum tata negara, membutuhkan seorang cendikiawan yang handal, agar konsolidasi demokrasi tetap berada pada rel yang benar, dan teknokrat seperti itu hanya ada pada figur Prof. Yusril Ihza Mahendra, saya berpendapat bahwa penentuan Cawapres kriteriumnya adalah kebutuhan negara saat ini, yaitu sosok cawapres yang dapat memainkan peran-peran konstruktif dan signifikan dalam menata negara, bukan kebutuhan elektoral atau elektoralisme semata yang hanya berorientasi pada kepentingan menang-kalah dalam Pemilu,” tutup Fahri Bachmid.