Yusril: KPU Bisa Surati Parpol Untuk Ikuti Putusan MK Terkait Usia Capres-Cawapres
Abadikini.com, JAKARTA – Guru Besar Hukum Tata Negara dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra berpendapat, dalam situasi mendesak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat diberlakukan langsung tanpa harus menunggu perubahan undang-undang atau peraturan lainnya termasuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Hal itu dinyatakan Yusril menjawab pertanyaan apakah bisa KPU menyurati pimpinan Parpol agar menaati Putusan MK Nomor 90/PUI-XXI/2023 terkait usia Presiden 40 tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk kepala daerah.
“Dalam Keadaan mendesak, keputusan seperti itu dapat dilaksanakan, tanpa menunggu perubahan undang-undang Pemilu maupun Peraturan KPU,” kata Yusril dalam keterangan kepada Abadikini, Jumat (20/10/2023).
Sebab menurutnya, hukum administrasi terkait penyelenggaraan negara bersifat dinamis dan antisipatif, sehingga dalam keadaan tertentu, hal-hal yang bersifat prosedural dapat dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar. Sejatinya, menurut Yusril, Peraturan KPU mesti diubah karena ada putusan MK.
Tetapi menurutnya, pengubahan itu terbentur masalah prosedur karena KPU harus berkonsultasi dengan DPR. Sementara DPR sedang reses sehingga konsultasi tidak dapat dilaksanakan. Disisi lain, jadwal Pemilu terkait pendaftaran Pilpres tidak dapat ditunda lagi. Pilpres berhubungan langsung dengan perintah UUD 45 agar Pemilu dikaksanakan lima tahun sekali. Menunda ini, akan menimbulkan dampak konstitusional yang serius terkait masa jabatan Presiden sekarang.
“Permintaan KPU agar parpol menaati Putusan MK tanpa KPU sendiri mengubah Peraturan KPU (PKPU), bukannya tanpa dasar. Yang diuji di MK adalah Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bukan menguji PKPU. KPU tidak dapat mengubah PKPU karena rujukan KPU dalam menyusun PKPU adalah Undang-Undang Pemilu. Sementara, Presiden dan DPR tidak akan dapat mengubah UU Pemilu untuk melaksanakan Putusan MK terkait usia mininal Presiden dan Wakil Presiden dalam waktu hanya beberapa hari,” ujar Yusril.
Yusril menjelaskan, pilihan yang lain untuk melaksanakan Putusan MK adalah Presiden menerbitkan Perpu berdasarkan pertimbangan hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Presiden nampaknya tidak berkeinginan menerbitkan Perpu dimaksud. Lantas apa jalan keluarnya? Patut diketatahui bersama bahwa berdasarkan Pasal 56 UU MK, Putusan MK itu bersifat final dan mengkikat dan berlaku sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
“Itu berarti, Putusan MK berlaku serta-merta meskipun dalam putusan pengujian terhadap UU, MK menyatakan suatu norma dalam Pasal UU yang diuji bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, meskipun norma Pasal tersebut dalam kenyataannya belum diubah oleh Presiden dan DPR,” jelasnya.
Menurut Yusril, ketentuan mengenai pecegahan WNI bepergian ke luar negeri sebagaimana diatur dalam Padal 97 UU No. 6 Tahun 2011 tengang Keimigrasian mengatur pencegahan dapat dilakukan selama enam bulan dapat dapat diperpanjang selama enam bulan lagi tanpa batas. Pasal ini dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK kemudian dalam Putusannya membatasi pencegahan hanya dapat dilakukan maksimum dua kali enam bulan. Putusan MK itu dilaksanakan dalam praktik sejak tahun 2011, sementara bunyi Pasal 97 UU Imigrasi itu sampai hari ini belum diubah oleh Presiden dan DPR.
“Jadi, Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang membuka peluang bagi Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar sebagai calon Wapres berpasangan dengan Prabowo Subianto harus dilaksanakan oleh parpol atau gabungan parpol dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) dalam mendaftarkan pasangan calon tersebut jika sekiranya KIM memutuskan akan mencalonkan Prabowo berpasangan dengan Gibran,” ungkapnya.
Jika KIM memutuskan demikian, maka KPU juga wajib memastikan akan menerima pencalonan itu sesuai diktum Putusan MK yang membuka peluang bagi Gibran yang belum berusia 40 tahun tetapi memenuhi syarat sebagai cawapres berdasarkan Putusan MK. Putusan MK memang menuai kritik dari sudut pandang politik dan akademik, tetapi saya tegas menyatakan betapun ada kritik bahkan penolakan, putusan pengadilan, termasuk Putusan MK harus dihormati dan dijalankan. Kepastian hukum harus dilaksanakan.
“Tugas saya di dalam KIM adalah menjaga dan memastikan langkah dan keputusan KIK sejalan dengan hukum dan konstitusi. Pak Prabowo berulangkali meminta saya untuk melakukan tugas itu dan saya melaksanakannya dengan tanggungjawab,” kata Yusril mengakhiri keterangannya.