Rapat dengan Komisi Yudisial, DPR Sebut Kasus Ted Sioeng Rekayasa
![](https://www.abadikini.com/media/files/2025/02/images-2.jpeg)
Abadikini.com, JAKARTA – Komisi III DPR menggelar rapat dengan Komisi Yudisial membahas sejumlah isu. Benny K Harman, anggota Komisi III DPR, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai penyimpangan yang terjadi dalam sistem hukum di Indonesia.
Benny mengungkapkan contoh penyimpangan besar yang mencoreng penegakan hukum di Tanah Air, salah satunya kasus Ted Sioeng yang dituduh penggelapan dan penipuan oleh Bank Mayapada.
“Banyak peristiwa pidana yang direkayasa. Mau kasih contoh? Contohnya seperti kasus pengusaha Ted Sioeng. Itu peristiwa pidana yang direkayasa, fiktif,” kata Benny di DPR, Senin (10/2/2025).
Menurut Benny, kondisi ini menunjukkan bahwa hukum sering kali dijadikan sebagai alat oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan.
“Yang terjadi kesimpulannya Bapak-Bapak KY yang sangat saya hormati, hukum itu dijadikan alat. Penegak hukum juga dijadikan alat,” jelasnya.
Benny juga mengajukan usulan untuk mereformasi sistem hukum dengan melibatkan hakim komisaris yang akan mengawasi setiap tindakan polisi dan jaksa dalam menetapkan tersangka dan memeriksa orang. Namun, ia mengakui bahwa usulan tersebut tidak disambut baik oleh sebagian pihak di kepolisian.
“Mohon maaf teman-teman kita di polisi tidak suka dengan ini,” tambahnya.
Menanggapi itu, anggota KY Binziad Kadafi mengakui dalam perkara perdata saat ini disertai dengan pidana. Tujuannya, agar si penggugat dapat memperkuat kepentingannya itu.
“Pidana itu ultimum remedium. Tetapi hari ke hari banyak gugatan perdata didampingi dengan laporan pidana. Tujuannya memberikan tekanan menambah bergeming penggugat agar kepentingan itu dapat bisa terpenuhi,” katanya.
Diketahui, Mayapada telah menggugat pailit Sioengs Group. Dalam keterbukaan informasi, MAYA menyebut Sioengs memiliki kredit macet Rp1,55 triliun di bank milik konglomerat Tahir tersebut.
Kemudian Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menetapkan Sioeng pailit lewat putusan 55/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN.Niaga.Jkt.Pst. Ted Sioeng juga kemudian dipidanakan, dan menjadi buronan Interpol pada 2023 dan akhirnya ditangkap polisi setelah dilaporkan Bank Mayapada atas tuduhan penipuan dan penggelapan.
Di kesempatan lain, persidangan kasus pidana dugaan penipuan dan penggelapan dana Bank Mayapada dengan terdakwa Ted Sioeng, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin. Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan dari terdakwa.
Kuasa hukum Ted Sioeng, Julianto Asis usai persidangan mengatakan, Dato Sri Tahir selaku pemilik Bank Mayapada terlibat pemufakatan jahat dalam kasus tersebut.
“Tadi sudah dijelaskan bahwa ada nama-nama yang terlibat. Bapak Dato Tahir juga terlibat di sini. Itu pinjaman ada menyebut namanya dia,” ungkapnya.
Karena itu, tandasnya, sudah seharusnya Dato Sri Tahir yang namanya juga sudah disebut dalam persidangan, dilakukan pemeriksaan dan dihadirkan. Tapi sayangnya, hal tersebut urung dilakukan.
“Maksudnya kan kalau memang ada kaitannya, harusnya kan harus diperiksa juga. Tapi sampai hari ini kan tidak pernah diperiksa,” tegas Julianto.
Pihaknya melihat bahwa rencana pemufakatan jahat terhadap Ted Sioeng telah dirancang sejak awal, saat kliennya mulai mengajukan pinjaman senilai Rp70 miliar.
Karenanya, dia meminta kalau masih ada pihak yang berkaitan dengan berkas penyidikan, diperiksa nama-nama itu. Apalagi pihak-pihak yang diduga ingin menjebak Ted Sioeng.
“Bayangin Pak Ted Sioeng bisa ngajuin pinjaman dari Rp70 miliar sampai Rp203 miliar, itu kan fantastis. Siapa sih dia? Kok Bank Mayapada bisa selonggar itu memberikan pinjaman sebesar itu? Terus di kemudian hari ada masalah,” katanya.
Ahli Sampaikan Pihak yang Sudah Dipailitkan Tak Bisa Dipidana
Terdakwa kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana bank Rp203 miliar, Ted Sioeng, menghadirkan saksi ahli perdata/perbankan dari UGM Nindyo Pramono dan ahli hukum pidana dari UII Mudzakkir dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (6/2/2025).
Saksi ahli Nindyo Pramono dalam persidangan menyampaikan, terdakwa Ted Sioeng tidak bisa dipidana jika merujuk pada putusan pailit yang dikeluarkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Sebab, kepailitan masuk dalam asas hukum yang menyatakan peraturan khusus menggantikan peraturan umum atau disebut lex specialis.
“Kalau merujuk Undang-Undang Kepailitan yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), ada salah satu pasal bisa merujuk kalau tidak salah Pasal 29 dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, tegas dinyatakan kalau sudah perkara kepailitan dan debitur dijatuhkan dalam keadaan pailit, maka perkara-perkara di luar kepailitan menjadi gugur, termasuk perkara yang berkaitan dengan peradilan yang sedang berlangsung menjadi gugur. Karena kepailitan adalah lex specialis,” kata Nindyo.
Diketahui, Mayapada telah menggugat pailit Sioengs Group. Dalam keterbukaan informasi, MAYA menyebut Sioengs memiliki kredit macet Rp1,55 triliun di bank tersebut.
Kemudian Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menetapkan Sioengs pailit lewat putusan 55/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Ted Sioeng kemudian menjadi buronan Interpol pada 2023 dan akhirnya ditangkap polisi setelah dilaporkan Bank Mayapada atas tuduhan penipuan dan penggelapan.
Oleh karena itu, lanjut Nindyo, tidak relevan lagi jika kreditur mempersoalkan adanya perbedaan peruntukan dari pinjaman yang dilakukan oleh nasabah atau debitur padahal utang-utangnya sudah dilunasi.
Menurut Nindyo, prinsip dasar bank sebagai kreditur adalah utang atau kreditnya dibayar lunas oleh debitur.
“Tidak relevan lagi menurut saya (kalau sudah terjadi pelunasan utang debitur terhadap kreditur, lalu kreditur menuntut debitur karena perbedaan peruntukan dari dana kredit). Karena kreditur pada dasarnya kalau itu bank, sebenarnya pada dasarnya bank yang penting dalam rangka mengucurkan kredit, itu kredit dibayar lunas,” jelas Nindyo.
Memang, kata dia, ada fase-fase pada saat awal dilakukan pemeriksaan dokumen maupun jaminan kepada nasabah sebelum bank mengeluarkan pinjaman kredit. Selain itu, bank sebagai kreditur juga harus memiliki keyakinan terhadap nasabahnya mampu untuk membayar atau melunasi utangnya tersebut.
Nindyo menjelaskan, hal itu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan beberapa pasalnya diperbaiki oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
“Memang ada fase-fase pada saat awal diperiksa jaminan, apapun jaminannya bisa macam-macam, bisa perorangan termasuk corporate. Prinsipnya yang penting perjanjian kredit itu diberikan asal bank yakin berdasarkan atas itikad baik calon nasabah, bahwa calon nasabah itu pada gilirannya akan mampu mengembalikan utang kredit atau mampu membayar angsuran. Setelah itu dipenuhi, dipakai apapun (uangnya) yang penting dibayar. Bank tidak sempat melihat satu persatu nasabah bisa ribuan, bagaimana peruntukan dari kredit yang diberikan kepada nasabah,” kata Nindyo.