Dokter Blusukan Begitulah Julukan untuk dr. Agus Ujianto
Abadikini.com, JAKARTA – ‘Dokter Blusukan’, begitulah julukan dokter Agus Ujianto. Menjabat Direktur Rumah Sakit Islam (RSI) Banjarnegara, Jawa Tengah, sekaligus berpraktik sebagai dokter bedah, Agus tidak hanya betah di rumah sakit.
Jika sudah selesai bertugas, pria 44 tahun ini rutin menyambangi berbagai daerah pelosok di Banjarnegara. “Jadi, awalnya saya sering merasa kalau bertemu pasien di rumah sakit itu ada sesuatu yang kelihatannya dipendam, misalnya, masalah biaya yang mahal atau nebus obat cuma setengah. Akhirnya saya putuskan untuk turun ke desa-desa,” jelas Agus saat menjadi tamu di acara Kick Andy episode Dokterku Pahlawanku, Ahad (12/4/2020) malam dikutip dari Media Indonesia.
Ketua Umum Bulan Sabit Merah Bulan Bintang (BSM-BB) ini juga mengungkapkan jika kegiatannya turun ke desa itu juga didorong keinginan mencari kesegaran sesudah rutinitas. “Niat saya itu cuma refreshing, tapi kok di setiap jalan saya lihat ada orang sakit, ada yang patah tulang, ada yang punya gondok sampai besar, terus yang paling sering dilihat adalah orang-orang yang jalannya terseok-seok karena lumpuh.
Akhirnya ya karena saya dokter, jadi saat saya lihat orang seperti itu ya sudah menjadi tanggung jawab saya untuk membantunya. Kalau enggak turun ke bawah, ya percuma saya jadi dokter,” terang pria yang sudah sejak kuliah aktif di kegiatan kerelawanan. Ia pun sempat menjadi relawan medis di luar negeri.
Untuk menyambangi desa-desa, Agus mengendarai motor. Ia pun tidak sendiri, tetapi bersama para relawan dari komunitas The Plegia yang ia dirikan untuk membantu para penyandang tunadaksa.
“Aktivitas ini saya lakukan bersama relawan (The Plegia). Ketika saya sedang tidak ada pasien (di rumah sakit), ya sudah yuk berangkat mutermuter ke mana sambil refreshing naik-turun gunung naik motor,” jelas Agus.
Telah 17 tahun Agus dan komunitasnya melakoni pelayanan medis ke pelosok. Dengan peralatan medis yang sangat terbatas, yang dapat ia bawa, maka pengobatan yang diberikan bersifat penanganan pertama. Namun, penanganan ini pun sudah sangat bermanfaat karena dengan begitu kondisi kegawatan dapat dihindari sementara waktu dan kondisi pasien juga dapat lebih baik untuk menempuh perjalanan. Agus mengungkapkan tidak sedikit pasien yang dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lanjutan.
“Kalau kita turun ke bawah kan sebenarnya yang kita berikan adalah pertolongan primer. Jadi, kita berikan obat-obatan yang sifatnya simptomatis dulu. Kemudian, kalau kita bisa lihat dosis di tempat, tetapi obatnya tidak kita bawa ya nanti kita kirim dari rumah sakit atau kita rujuk,” jelasnya. Seluruh pelayanan medis saat blusukan itu diberikan Agus dengan gratis sebab ia mendedikasikan dirinya saat itu sebagai relawan.
Di sisi lain, berkat wadah kerelawanan yang ia dirikan, mereka berhasil pula menghimpun donasi masyarakat. Donasi itu kemudian disalurkan dalam bentuk kursi roda, kruk, dan kaki palsu bagi penyandang tunadaksa yang mereka temui dan warga yang membutuhkan. Bukan hanya pengobatan, melainkan Agus juga memberikan edukasi kesehatan kepada warga yang ia kunjungi.
Dicurigai
Meski membawa misi mulia, bukan berarti kegiatan Agus selalu mulus. Salah satu kejadian unik yang pernah ia rasakan ialah dicurigai dan dicegat warga yang tengah ronda.
Kejadian ini sama sekali tidak merisaukannya karena ia paham jika bentuk pelayanan medisnya yang tidak biasa memang bisa menimbulkan persepsi aneh di awal. Namun, ketika masyarakat sudah paham, aktivitas akan berlangsung lancar, termasuk kejadian pencegatan itu
yang berakhir manis.
“Pernah ada pasien di desa dan waktu itu sudah sore, ya kita coba berangkat. Akhirnya sampai di desa itu malam hari. Di mana-mana kan kalau ada orang yang bertamu malam hari harus lapor ketua RT. Suatu saat rombongan kami dicegat oleh orangorang yang lagi ronda, terus kami dibawa ke ketua RT, eh ketua RT-nya pernah saya tolong.
Nah, akhirnya oleh semua warga yang ronda itu saya ditunjukan satu per satu siapa saja warga yang sedang sakit,” kenang Agus.
Bagi Agus, profesinya yang kini ia emban ini ialah sebuah kesempatan untuk menularkan kebaikan. Ia berharap dapat memberikan pelayanan kesehatan bagi siapa pun yang membutuhkan.
Sebab itu pula kebahagiaan terbesar bagi seorang dokter bukanlah materi, melainkan melihat pasien sembuh. “Kebahagiaan seorang dokter adalah kalau melihat pasien sembuh. Di antara itu kesembuhan itu ternyata selain bisa didapatkan di rumah sakit, rupanya ada kesembuhan
paripurna yang didapatkan saat berada di rumah dan keluarga tidak merasa terbebani. Di situlah saya merasa bahagia saat bisa menolong orang lain. Itu kebahagiaan saya,” pungkasnya.